Sabtu, 13 April 2013

Cerpen Senyummu Menutupinya


Senyummu Menutupinya


Aku kini telah duduk di kelas sebelas. Aku bersyukur sekali aku dapat masuk di kelas 11 IPA karena banyak sekali temanku yang ingin masuk kelas IPA tapi tidak dapat masuk. Pertama kali aku masuk kelasku yang baru, aku bingung duduk di sebelah siapa. Pada saat aku kebingungan, tiba-tiba aku terpikir untuk duduk di sebelah temanku sekelasku saat kelas sepuluh.
“Ari, aku duduk di sebelahmu ya?” Tanyaku kepada Ari.
“Oh iya silahkan, wah kebetulan sekali aku sekelas lagi denganmu Dam” Jawab Ari.
Setelah itu aku dan Ari berbincang-bincang tentang bagaimana hasil rapot yang kita peroleh. Kami juga membicrakan tentang guru-guru di sekolah kami dan berharap guru yang mengajar di kelas kami adalah guru-guru yang mengajarnya mudah dipahami. Aku juga berpikir pasti saingan-sainganku di kelas sebelas lebih berat dibandingkan dengan kelas sepeuluh.
Setelah bel berbunyi, teman-temanku masuk kelas. Setelah masuk kelas semua, aku melihat aku sekelas dengan siapa saja. Terlihat Iqbal, Rama, Putri anak-anak yang termasuk dalam anak berprestasi pada angkatanku. Sungguh sainganku terlihat sangat berat. Aku melihat sekitarku lagi,tiba-tiba aku tersentak melihat anak cantik berjilbab yang duduk di sebelah kanan bangkuku. Aku ingin sekali berkenalan dengannya. Guru yang mengajar kelasku masuk kelas. Guruku mempresensi kami, saat yang di panggil nama Aini Rahma Fitria, anak cantik itu mengacungkan tangan. Setelah itu, aku mulai tahu namanya.
Satu minggu kemudian aku mulai akrab dengannya. Aku sering bertanya tentang tugas ke dia jika aku tidak tahu. Aku juga sering tanya tentang pelajaran-pelajaran yang tidak terlalu aku pahami. Dia selalu tersenyum kepadaku jika bertemu denganku dimana saja. Dia juga selalu menyapaku.
“Adam…..” Sapanya kepadaku.
“Iya Aini” Balas sapaku kepadanya.
Suatu hari aku mendapat tugas kelompok oleh guru Bahasa Indonesia. Kebetulan aku satu kelompok dengan Aini. Tugasnya adalah menulis naskah drama dan menampilkannya di depan kelas. Naskah dramanya ditulis oleh Aini sendiri karena aku dan teman-teman kelompokku kecuali Aini, tidak ada yang bisa mengarang cerita. Setelah naskah drama telah selesai, aku mengajak teman-teman kelompokku untuk latihan pada Hari Sabtu. Kami berkumpul disekolah karena belum tahu rumah masing-masing anggota kelompokku.
“Latihan dirumah siapa ini?” Tanyaku.
“Di rumah Aini saja” Jawab Rika.
“Jangan di rumahku, lagi ada tamu” Kata Aini.
“Di rumahmu saja bagaimana Ngga?” Tanyaku kepada Angga.
“Ya sudah di rumahku saja tidak apa-apa” Jawab Angga.
Setelah itu kami latihan di rumah Angga. Kami latihan hingga menjelang sore, itu pun kami belum hafal sepenuhnya. Naskah drama yang dibuat Aini sangat bagus dan ceritanya menyentuh hati. Aku hingga merasa iba membaca naskahnya. Setelah, latihan kami pulang ke rumah masing-masing.
“Aini, aku antarkan kamu pulang ke rumah ya?” Tawarku kepada Aini.
“Tidak usah dam, aku naik angkutan umum saja” Jawab Aini.
“Tak apalah Aini hitung-hitung mengirit uangmu” Rayuku kepadanya.
“Ya sudahlah, apa boleh buat aku tidak bisa menolak niat baikmu Dam” Kata Aini.
Hatiku bersorak gembira karena Aini menerima tawaranku. Teman-temanku tersenyum padaku karena mereka tahu bagaimana perasaanku kepada Aini. Namun, aku hanya bisa mengantarnya di depan gang rumahnya karena dia tidak ingin diantar samapai depan rumahnya. Aku penasaran dengan rumah Aini seperti apa. Aku menitipkan sepeda motorku kepada tetangga Aini. Lalu, aku mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi hingga dia tiba di rumahnya. Pada saat dia tiba di rumahnya dan aku melihat bentuk rumahnya yang mungil. Aku mengelus dadaku melihat rumah Aini.
“Ya Tuhan, aku bersyukur sekali  mempunyai rumah yang layak dan orang tua yang berkecukupan, sedangkan temanku ini tidak seperti aku yang hidup berkecukupan” Kataku dalam hati yang iba melihat keadaan Aini.
Tiba-tiba aku terdengar suara teriakan yang mengagetkanku terdengar dari dalam rumah Aini.
“Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Bentak ayahnya kepada Aini.
“Latihan drama Yah, tadi Aini sudah bilang kan ke Ayah” Jawab Aini.
“Ah alasan, masa sampai jam segini?” Marah Ayahnya.
Aku sangat terkaget mendengar perkataan ayahnya Aini. Tidak kusangka ayahnya sangat mengekang Aini. Aku juga tidak menyangka hidup Aini begitu rumit. Tiba-tiba ada tetangga Aini menyapaku.
“Kenapa Mas? Mas pasti kaget ya mendengar suara barusan?” Tanya tetangga Aini.
“Iya Mbak, Kenapa ya ayahnya Aini sangat mengekang Aini?” Tanyaku.
“Itu sudah biasa Mas setiap hari Aini selalu dimarahi ayahnya, hidup Aini sangat rumit Mas, ayah dan ibunya sudah cerai, setelah cerai ayahnya sering mabuk-mabukan, main judi, padahal dulu ya Mas, Aini itu orang yang kaya di kampungnya dulu, saya iba melihat Aini tapi saya salut dengannya” Cerita tetangga Aini.
“Ya Tuhan aku sangat iba dan prihatin dengan temanku satu ini” Kataku dalam hati.
Keesokan harinya aku lewat di daerah rumah Aini. Tiba-tiba aku melihat Aini tidak memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang seksi. Dia juga di tarik oleh ayahnya. Aku terheran-heran, Aini itu akan diajak kemana oleh ayahnya, sampai harus menggunakan baju seperti itu. Karena kepenasaranku, aku mengikuti mereka. Mereka berhenti di suatu tempat. Ternyata ayah Aini mengajaknya ke tempat yang tidak benar dan perbuatan yang dilakukan di sana sangat dilarang oleh Tuhan. Aku tidak menyangka, ternyata ada orang tua yang malah menjerumuskan anaknya kedalam lubang hitam.

Setelah ayahnya pergi, aku menghampiri Aini. Aku berusaha menyelamatkan Aini dari lubang hitam tersebut. Sampai-sampai aku harus bertengkar dengan orang-orang disekitar daerah itu. Aku tidak perduli bagaimana keadaan diriku. Aku hanya mementingkan keadaan Aini teman baikku. Setelah kejadian pada hari itu, Aini tidak pulang ke rumah ayahnya tapi dia pulang ke rumah ibunya.
Tak kusangka temanku yang cantik, baik, dan selalu senyum ini menyimpan masalah keluarga yang cukup banyak seperti ini. Dibalik senyumnya yang manis itu menyimpan derita yang sangat mendalam. Aku menceritakan cerita ini kepada temanku tapi temanku tidak ada yang percaya dengan ceritaku. Senyumannya yang manis membuat teman-temanku tidak percaya, karena senyumannya seolah selalu bahagia sepertiku dan anak-anak lainnya. Aku sangat kagum dengannya karena dia dapat menutupi segala deritanya. Tidak salah aku menyukainya, dia sangat sempurna di mataku. Kata-kata yang terucap dari bibirku adalah “Sungguh senyummu menutupinya”.


Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar