Senyummu Menutupinya
Aku
kini telah duduk di kelas sebelas. Aku bersyukur sekali aku dapat masuk di
kelas 11 IPA karena banyak sekali temanku yang ingin masuk kelas IPA tapi tidak
dapat masuk. Pertama kali aku masuk kelasku yang baru, aku bingung duduk di
sebelah siapa. Pada saat aku kebingungan, tiba-tiba aku terpikir untuk duduk di
sebelah temanku sekelasku saat kelas sepuluh.
“Ari,
aku duduk di sebelahmu ya?” Tanyaku kepada Ari.
“Oh
iya silahkan, wah kebetulan sekali aku sekelas lagi denganmu Dam” Jawab Ari.
Setelah
itu aku dan Ari berbincang-bincang tentang bagaimana hasil rapot yang kita
peroleh. Kami juga membicrakan tentang guru-guru di sekolah kami dan berharap
guru yang mengajar di kelas kami adalah guru-guru yang mengajarnya mudah
dipahami. Aku juga berpikir pasti saingan-sainganku di kelas sebelas lebih
berat dibandingkan dengan kelas sepeuluh.
Setelah
bel berbunyi, teman-temanku masuk kelas. Setelah masuk kelas semua, aku melihat
aku sekelas dengan siapa saja. Terlihat Iqbal, Rama, Putri anak-anak yang
termasuk dalam anak berprestasi pada angkatanku. Sungguh sainganku terlihat
sangat berat. Aku melihat sekitarku lagi,tiba-tiba aku tersentak melihat anak
cantik berjilbab yang duduk di sebelah kanan bangkuku. Aku ingin sekali
berkenalan dengannya. Guru yang mengajar kelasku masuk kelas. Guruku
mempresensi kami, saat yang di panggil nama Aini Rahma Fitria, anak cantik itu
mengacungkan tangan. Setelah itu, aku mulai tahu namanya.
Satu
minggu kemudian aku mulai akrab dengannya. Aku sering bertanya tentang tugas ke
dia jika aku tidak tahu. Aku juga sering tanya tentang pelajaran-pelajaran yang
tidak terlalu aku pahami. Dia selalu tersenyum kepadaku jika bertemu denganku
dimana saja. Dia juga selalu menyapaku.
“Adam…..”
Sapanya kepadaku.
“Iya
Aini” Balas sapaku kepadanya.
Suatu
hari aku mendapat tugas kelompok oleh guru Bahasa Indonesia. Kebetulan aku satu
kelompok dengan Aini. Tugasnya adalah menulis naskah drama dan menampilkannya
di depan kelas. Naskah dramanya ditulis oleh Aini sendiri karena aku dan teman-teman
kelompokku kecuali Aini, tidak ada yang bisa mengarang cerita. Setelah naskah
drama telah selesai, aku mengajak teman-teman kelompokku untuk latihan pada
Hari Sabtu. Kami berkumpul disekolah karena belum tahu rumah masing-masing
anggota kelompokku.
“Latihan
dirumah siapa ini?” Tanyaku.
“Di
rumah Aini saja” Jawab Rika.
“Jangan
di rumahku, lagi ada tamu” Kata Aini.
“Di
rumahmu saja bagaimana Ngga?” Tanyaku kepada Angga.
“Ya
sudah di rumahku saja tidak apa-apa” Jawab Angga.
Setelah
itu kami latihan di rumah Angga. Kami latihan hingga menjelang sore, itu pun
kami belum hafal sepenuhnya. Naskah drama yang dibuat Aini sangat bagus dan
ceritanya menyentuh hati. Aku hingga merasa iba membaca naskahnya. Setelah,
latihan kami pulang ke rumah masing-masing.
“Aini,
aku antarkan kamu pulang ke rumah ya?” Tawarku kepada Aini.
“Tidak
usah dam, aku naik angkutan umum saja” Jawab Aini.
“Tak
apalah Aini hitung-hitung mengirit uangmu” Rayuku kepadanya.
“Ya
sudahlah, apa boleh buat aku tidak bisa menolak niat baikmu Dam” Kata Aini.
Hatiku
bersorak gembira karena Aini menerima tawaranku. Teman-temanku tersenyum padaku
karena mereka tahu bagaimana perasaanku kepada Aini. Namun, aku hanya bisa
mengantarnya di depan gang rumahnya karena dia tidak ingin diantar samapai depan
rumahnya. Aku penasaran dengan rumah Aini seperti apa. Aku menitipkan sepeda
motorku kepada tetangga Aini. Lalu, aku mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi
hingga dia tiba di rumahnya. Pada saat dia tiba di rumahnya dan aku melihat
bentuk rumahnya yang mungil. Aku mengelus dadaku melihat rumah Aini.
“Ya
Tuhan, aku bersyukur sekali mempunyai
rumah yang layak dan orang tua yang berkecukupan, sedangkan temanku ini tidak
seperti aku yang hidup berkecukupan” Kataku dalam hati yang iba melihat keadaan
Aini.
Tiba-tiba
aku terdengar suara teriakan yang mengagetkanku terdengar dari dalam rumah
Aini.
“Dari
mana saja kamu jam segini baru pulang?” Bentak ayahnya kepada Aini.
“Latihan
drama Yah, tadi Aini sudah bilang kan ke Ayah” Jawab Aini.
“Ah
alasan, masa sampai jam segini?” Marah Ayahnya.
Aku
sangat terkaget mendengar perkataan ayahnya Aini. Tidak kusangka ayahnya sangat
mengekang Aini. Aku juga tidak menyangka hidup Aini begitu rumit. Tiba-tiba ada
tetangga Aini menyapaku.
“Kenapa
Mas? Mas pasti kaget ya mendengar suara barusan?” Tanya tetangga Aini.
“Iya
Mbak, Kenapa ya ayahnya Aini sangat mengekang Aini?” Tanyaku.
“Itu
sudah biasa Mas setiap hari Aini selalu dimarahi ayahnya, hidup Aini sangat
rumit Mas, ayah dan ibunya sudah cerai, setelah cerai ayahnya sering
mabuk-mabukan, main judi, padahal dulu ya Mas, Aini itu orang yang kaya di
kampungnya dulu, saya iba melihat Aini tapi saya salut dengannya” Cerita
tetangga Aini.
“Ya
Tuhan aku sangat iba dan prihatin dengan temanku satu ini” Kataku dalam hati.
Keesokan
harinya aku lewat di daerah rumah Aini. Tiba-tiba aku melihat Aini tidak
memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang seksi. Dia juga di tarik oleh
ayahnya. Aku terheran-heran, Aini itu akan diajak kemana oleh ayahnya, sampai
harus menggunakan baju seperti itu. Karena kepenasaranku, aku mengikuti mereka.
Mereka berhenti di suatu tempat. Ternyata ayah Aini mengajaknya ke tempat yang
tidak benar dan perbuatan yang dilakukan di sana sangat dilarang oleh Tuhan.
Aku tidak menyangka, ternyata ada orang tua yang malah menjerumuskan anaknya
kedalam lubang hitam.
Setelah
ayahnya pergi, aku menghampiri Aini. Aku berusaha menyelamatkan Aini dari
lubang hitam tersebut. Sampai-sampai aku harus bertengkar dengan orang-orang
disekitar daerah itu. Aku tidak perduli bagaimana keadaan diriku. Aku hanya
mementingkan keadaan Aini teman baikku. Setelah kejadian pada hari itu, Aini
tidak pulang ke rumah ayahnya tapi dia pulang ke rumah ibunya.
Tak
kusangka temanku yang cantik, baik, dan selalu senyum ini menyimpan masalah
keluarga yang cukup banyak seperti ini. Dibalik senyumnya yang manis itu
menyimpan derita yang sangat mendalam. Aku menceritakan cerita ini kepada
temanku tapi temanku tidak ada yang percaya dengan ceritaku. Senyumannya yang
manis membuat teman-temanku tidak percaya, karena senyumannya seolah selalu
bahagia sepertiku dan anak-anak lainnya. Aku sangat kagum dengannya karena dia
dapat menutupi segala deritanya. Tidak salah aku menyukainya, dia sangat
sempurna di mataku. Kata-kata yang terucap dari bibirku adalah “Sungguh
senyummu menutupinya”.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar