A.
Sikap Hasud
Kata hasud dalam
bahasa Arab berarti orang yang memilki sifat dengki. Dengki adalah satu sikap
mental seseorang tidak senang orang lain mendapat kenikmatan hidup dan berusaha
untuk melenyapkannya, sifat ini harus dihindari oleh seseorang dalam kehidupan
sehari-hari.
Rasulullah SAW telah bersabda:
دَبَّ اِلَيْكُمْ دَاءُ الاُمَمِ قَبْلَكُمْ البَغْضَاءُ وَ
الحَسََدُ هِيَ حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ (رواه) احمد و
ترمذى
Artinya: “Telah masuk ke tubuhmu
penyakit-penyakit umat tedahulu, (yaitu) benci dan dengki, itulah yang
membinasakan agama, bukan dengki mencukur rambut.” (HR Ahmad dan Turmidzi)
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa
hancurnya agama sejak dahulu adalah disebabkan oleh timbulnya sifata benci dan
dengki diantara pemeluknya. Betapa kejinya sifat benci dan dengki apabila
berkembang ditengah-tengah masyrakat apalagi di sekolah. Sifat tersebut dapat
menghancurkan nama baik sekolah dan sudah dapat dipastikan sekolah tersebut
akan menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat di sekitarnya.
Perlu diketahui, bahwa seseorang yang
dihasudi, tidak akan pernah berkurang rejekinya karena adanya orang yang hasud
kepadanya, bahkan seorang yang hasud kepadanya tidak akan pernah mampu
“mengambil sesuatu” yang dimiliki oleh orang yang dihasudi tersebut. Oleh
karena itu, keinginan orang yang hasud akan hilangnya apa yang diberikan Allah
Swt terhadap orang yang dihasudinya itu merupakan perbuatan yang sangat zalim.
Selanjutnya, seorang yang hasud sebaiknya
melihat keadaan orang yang dihasudinya. Jika orang yang dihasudinya itu
memperoleh kenikmatan duniawi semata, maka sebaiknya dia menyayanginya, bukan
bersikap hasud kepadanya, karena apa yang diperolehnya memang sudah ditentukan
baginya bukan untuk orang yang hasud tersebut. Bukankah kelebihan harta benda
merupakan suatu kesusahan? Seperti yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi: “Seorang
pemuda menuturkan ‘kehidupannya’ yang kedua. Yang dibutuhkannya hanyalah yang
dimakannya. Sedangkan kelebihan kehidupannya hanya menjadi kesusahan baginya
saja”.
Maksud dari perkataan di atas adalah bahwa
banyaknya harta benda akan menyebabkan timbulnya perasaan khawatir yang
berlebihan dalam dirinya. Seseorang yang memiliki banyak jariya’h (budak
perempuan), maka dia akan semakin merasa khawatir kepada mereka atau bahkan
banyak menyita perhatian dan pikirannya. Begitu juga dengan seseorang yang
sedang berkuasa, dia sangat merasa ketakutan akan dicopotnya jabatan tersebut
dari dirinya.
Ketahuilah, bahwa kenikmatan itu seringkali
bercampur dengan kesusahan. Kenikmatan mungkin hanya bisa dirasakan sebentar
saja, tetapi kesusahan yang mengiringinya mungkin akan dirasakan dalam waktu
yang lama, sehingga orang tersebut menginginkan agar kenikmatan itu segera
sirna saja atau dia bisa membebaskan diri dari kenikmatan tersebut. Yakinlah,
bahwa sesuatu yang membuat seseorang merasa iri terhadap apa yang dimiliki oleh
orang lain belum tentu dirasakan oleh orang tersebut seperti yang dibayangkan
oleh orang yang hasud tersebut. Banyak orang yang menyangka bahwa para pejabat
itu bergelimang dengan kenikmatan. Mereka tidak memahami bahwa jika seseorang
sangat menginginkan sesuatu, kemudian dia berhasil memperolehnya, maka sesuatu
itu akan terasa biasa-biasa saja baginya, dan dia akan terus mengejar sesuatu
yang dianggapnya lebih tinggi dari itu. Sementara, orang yang hasud hanya
memandang semua itu dengan pandangan yang penuh harap dan penuh ambisi. Seorang
yang hasud hendaknya mengetahui konsekuensi penderitaan yang mungkin saja
dialami oleh orang yang dihasudinya di balik kenikmatan yang semu yang
dirasakannya.
Dalam sebuah hadits yang sanadnya bersambung
kepada Zubair bin al-‘Awwam, Rasulullah Saw bersabda: “Telah menjalar kepada
kalian penyakit umat-umat sebelum kamu, yaitu (penyakit) hasud dan permusuhan.
Sifat permusuhan merupakan sesuatu yang bisa merusak dan membinasakan, yakni
merusak agama…. Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian
tidak dianggap beriman sampai kalian saling mencintai (satu sama lain). Maukah
kalian aku beritahu tentang sesuatu yang jika kalian mengamalkannya, maka
kalian akan saling menyayangi, sebarkanlah salam di antara kalian”
Dalam hadits lain yang sanadnya bersambung
kepada Salim dari ayahnya, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَبْنِ رَجُلٍ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
القُرْانَ فَهُوَ بَقُوْمُ بِهِ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، و رَجُلٍ أَتَاهُ
اللهُ مَالاً فَهُوَ يُنْفِقُهُ فِى الحَقِّ أَنَاء اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ َ
“Tidak diperbolehkan hasud kecuali kepada dua
orang, yakni kepada seorang laki-laki yang diberikan al-Qur’an oleh Allah Swt
sedangkan dia mengamalkannya siang dan malam; dan kepada seorang laki-laki yang
diberikan harta oleh Allah Swt lalu dia menginfakannya di jalan yang benar
siang dan malam”. (HR Bukhari dan Muslim)
1.
Bahaya Perbuatan Hasud
Sifat hasud sangat membahayakan kehidupan
manusia antara lain:
a. menyebabkan hati tidak tenang karena selalu
akan memikirkan bagaimana keadaan itu dapat hilang dari seseorang.
b. Menghancurkan persatuan dan kesatuan, karena
biasanya orang yang hasud akan mengadu domba dan suka menfitnah
c. Menghancurkan kebaikan yang ada padanya.
Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة قال : قال رسول الله ص م اياكم و الحسد, فان الحسد
يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب (رواه ابر داود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah katanya: Telah
bersabda rasullah SAW : Hendaklah engkau menjauhkan diri dari sifat hasud,
sebab sifat hasud memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.”
(HR Abu Daud)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kita
diperintahkan menjauhi sifat hasud, karena sifat hasud dapat memakan kebaikan
sebagaimana api memakan kayu bakar.
2.
Cara Menghindari Hasud
Cara menghindari hasud antara lain sebagai
berikut:
a. Meningkatkan iman dan takwa kepada Allah SWT
b. Menyadari bahwa pemberiya’n dari Allah kepada
manusia tidaklah sama, sesuai dengan kehendaknya
c. Menyadari bahwa hasud dapat menghapuskan
kebaikan.
B.
Sikap Riya’
Riya’ artinya memperlihatkan (menampakkan)
diri kepada orang lain, supaya diketahui kehebatan perbuatannya, baik melalui
pembicaraan, tulisan ataupun sikap perbuatan dengan tujuan mendapat perhatian,
penghargaan dan pujian manusia, bukan ikhlas karena Allah
Riya’ itu bisa terjadi dalam niat, yaitu
ketika akan melakukan pekerjaan. Bisa juga terjadi ketika melakukan pekerjaan
atau setelah selesai melakukan suatu pekerjaan
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bercerita, ”Di
hari kiamat nanti ada orang yang mati syahid diperintahkan oleh Allah untuk
masuk ke neraka. Lalu orang itu melakukan protes, ‘Wahai Tuhanku, aku ini telah
mati syahid dalam perjuangan membela agama-Mu, mengapa aku dimasukkan ke
neraka?’ Allah menjawab, ‘Kamu berdusta dalam berjuang. Kamu hanya ingin
mendapatkan pujian dari orang lain, agar dirimu dikatakan sebagai
pemberani.Dan, apabila pujian itu telah dikatakan oleh mereka, maka itulah
sebagai balasan dari perjuanganmu’.” Orang yang berjuang atau beribadah demi
sesuatu yang bukan ikhlas karena Allah SWT, dalam agama disebut riya. Sepintas,
sifat riya merupakan perkara yang sepele, namun akibatnya sangat fatal. Sifat
riya dapat memberangus seluruh amal kebaikan, bagaikan air hujan yang menimpa
debu di atas bebatuan. Allah SWT berfirman,:
Artinya: ‘Dan Kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Abu Hurairah RA juga pernah mendengar
Rasulullah bersabda, ”Banyak orang yang berpuasa, namun tidak memperoleh
sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga, dan banyak pula orang yang
melakukan shalat malam yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali tidak tidur
semalaman.” Begitu dahsyatnya penyakit riya ini, hingga ada seseorang yang
bertanya kepada Rasulullah, ”Apakah keselamatan itu?” Jawab Rasulullah,
”Apabila kamu tidak menipu Allah.” Orang tersebut bertanya lagi, ”Bagaimana
menipu Allah itu?” Rasulullah menjawab, ”Apabila kamu melakukan suatu amal yang
telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepadamu, maka kamu menghendaki
amal itu untuk selain Allah.” Meskipun riya sangat berbahaya, tidak sedikit di
antara kita yang teperdaya oleh penyakit hati ini. Kini tidak mudah untuk
menemukan orang yang benar-benar ikhlas beribadah kepada Allah tanpa adanya
pamrih dari manusia atau tujuan lainnya, baik dalam masalah ibadah, muamalah,
ataupun perjuangan. Meskipun kadarnya berbeda-beda antara satu dan lainnya,
tujuannya tetap sama: ingin menunjukkan amaliyahnya, ibadah, dan segala
aktivitasnya di hadapan manusia.
Tanda-tanda penyakit hati ini pernah
dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib. Kata beliau, ”Orang yang riya itu memiliki
tiga ciri, yaitu malas beramal ketika sendirian dan giat beramal ketika berada
di tengah-tengah orang ramai, menambah amaliyahnya ketika dirinya dipuji, dan
mengurangi amaliyahnya ketika dirinya dicela.” Secara tegas Rasulullah pernah
bersabda, ”Takutlah kamu kepada syirik kecil.” Para shahabat bertanya, ”Wahai
Rasulullah, apa yang dimaksud dengan syirik kecil?” Rasulullah berkata, ”Yaitu
sifat riya. Kelak di hari pembalasan, Allah mengatakan kepada mereka yang
memiliki sifat riya, ‘pergilah kalian kepada mereka, di mana kalian pernah
memperlihatkan amal kalian kepada mereka semasa di dunia. Lihatlah apakah
kalian memperoleh imbalan pahala dari mereka’?
1.
Riya’ dalam Niat
Riya’ dalam niat, yaitu ketika mengawali
pekerjaan, dia mempunyai keinginan untuk mendapat pujian, sanjungan dan
penghargaan dari orang lain, bukan karena Allah. Padahal niat itu sangat
menentukan nilai dari suatu pekerjaan.
Jika pekerjaan yang baik dilakukan dengan niat
karena Allah maka perbuatan itu mempunyai nilai di sisi Allah. Jika dilakukan
karena ingin mendapat sanjungan dan penghargaan dari orang lain, maka perbuatan
itu tidak akan memperoleh pahala dari Allah. Hanya sanjungan dan itulah yang
akan dia peroleh. Nabi Muhammad SAW bersabda:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَاتِ … (رواه مسلم)
Artinya: “sesungguhnya segala perbuatan itu
tergantung niatnya.” (HR Muslim)
2.
Riya’ dalam Perbuatan
Riya’ dalam perbuatan ini, misalnya ketika
mengerjakan shalat dan bersedekah. Orang riya’ ini dalam mengerjakan shalat
biasanya dai memperlihatkan kesungguhan, kerajinan dan kekhusyukannya jika dia
berada di tengah-tengah orang atau jamaah. Sehingga orang lain melihat dia
berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya. Dai shalat dengan tekun itu mengharapkan
perhatian, sanjungan dan pujian orang lain agar dia dianggap sebagai orang yang
taat dan tekun beribadah. Orang yang riya’ dalam shalatnya akan celaka
diakhirat nanti. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Maun ayat 4-7
dan An Nisa ayat 142:
Artinya: “ Maka kecelakaanlah
bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, .
orang-orang yang berbuat riya’], dan
enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al Maun : 4-7)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik
itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’
(dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali.” (QS An Nisa : 142)
3.
Bahaya Riya’
Riya’ berbahaya bagi diri sendiri dan orang
lain. Terhadap diri sendiri, bahaya riya’ itu akan dirasakan oleh dirinya
berupa ketidak puasan, rasa hampa, sakit hati dan penyesalan. Ketika orang lain
tidak menghargai, tidak menyanjungnya dan tidak berterima kasih kepadanya.
Padahal ia telah menolong orang lain, bersedekah dan sebagainya. Akhirnya, jiwa
akan sakit dan keluh kesah yang tiada hentinya.
Bahaya riya’ terhadap orang lain akan
diolok-olok dan dicaci oleh orang yang telahn dibantu atau memberinya dengan
riya’ itu. Dia mengumpat dan mencaci itu karena keinginan untuk disanjung dan
dipuji tidak dipenuhi sesuai dengan kehendaknya. Orang yang telah diumpat dan
dicaci itu pasti akan tersinggung dan akhirnya terjadilah perselisihan antara
keduanya.
Perbuatan riya’ sangat merugikan, karena Allah
tidak akan menerima dan memberi pahala atas perbuatannya. Hal ini tergambar
dalam sabda nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut.
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata, Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya manusia yang pertama kali
diadili di hari kiamat adalah seorang yang mati syahid, kemudian dihadapkan dan
diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya dan iapun mengakuinya.
Lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?, ia menjawab: Aku berperang
karenamu sehingga aku mati syahid. Allah menjawab: Dusta engkau, sesunggunya
kamu berbuat (yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai pahlawan. Dan
kemudian (malaikat) diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparnya ke
dalam neraka.
Kedua, seorang yang dilapangkan rezekinya dan
dikaruniai berbagain macam kekayaan, kemudian ia dihadapkan dan diperlihatkan
kepadanya nikmat yang telah diterimanya itu, dan ia pun mengakuinya. Lantas
ditanya: Dipergunakan untuk apa nikmat itu?. Ia menjawab: Aku tidak pernah
meninggalkan infaq pada jalan yang tidak engkau ridhai, melainkan aku berinfaq
(hanya) karena mu. Lalu Allah menjawab: Dusta engkau sesungguhnya kamu berbuat
(yang demikian itu) supaya kamu dikatakan sebagai dermawan. Kemudian (malaikat)
diperintahkan untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.
Ketiga, seorang yang belajar dan mengajar dan
suka membaca Al Qur’an maka ia dihadapkan dan diperlihatkan nikmat yang telah
diterimanya itu dan ia pun mengakuinya, lantas ditanya: Dipergunakan untuk apa
nikmat itu?. Ia menjawab: Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya serta mambaca Al
Qur’an hanya untuk mu (ya Allah). Lalu Allah menjawab: Dusta engkau.
Sesungguhnya engkau menuntut ilmu supaya dikatakan orang pandai dan engkau
membaca Al Qur’an supaya dikatakan sebagai qari. Lalu (malaikat) diperintahkan
untuk menyeret orang itu dan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR Muslim)
C.
Sikap Aniaya
Aniaya adalah perbuatan bengis seperti
penyiksaan atau penindasan. Menganiaya berarti menyiksa, menyakiti dan berbagai
bentuk ketidak sewengan seperti menindas, mengambil hak orang lain dengan paksa
dan lain-lainnya
Pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa
penganiayan merupakan kejahatan yang bersifat mengancam harta dan jiwa.
Perbuatan itu sama dosanya dengan mencuri, bahkan lebih besar, karena
didalamnya terdapat unsur kekerasan. Jika sampai membunuh korbannya maka jelas
perbuatan itu termasuk salah satu dosa besar. Firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS Al
Maidah : 33)
Dari ayat tersebut, dinyatakan bahwa hukuman
bagi penganiaya diberlakukan sesuai dengan jenis perbuatan yang dilakukannya,
yaitu sebagai berikut.
1. Jika menganiaya dan membunuh korban serta
mengambil hartanya, penganiaya dihukum dibunuh dan disalib
2. Jika ia hanya mengambil harta tanpa membunuh
korbannya maka hukumannya dihukum potong tangan dan kakinya dengan cara silang.
3. Jika ia tidak mengambil harta dan membunuh
karena tetangkap sebelum sempat melakukan sesuatu atau hanya menakui0nakuti
saja maka hukumannya adalah dipenjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar